Senin, 01 Desember 2008

Nigeria Didera Bentrok Sektarian

400 Orang Tewas dan 7.000 Orang Mengungsi
Diunduh dari Harian KOMPAS, Senin, 1 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/01/00350039/nigeria.didera.bentrok.sektarian

Jos, Minggu - Sedikitnya 400 orang tewas dalam bentrokan antara warga Muslim dan Kristen di Negara Bagian Plateau, Nigeria. Hingga Minggu (30/11), situasi berangsur normal dan tidak terjadi insiden kekerasan, tetapi masih terdengar tembakan sporadis di kota Jos, ibu kota Plateau.

Aparat keamanan berjaga-jaga untuk mencegah pecahnya bentrokan lebih lanjut. Pos penjagaan militer telah didirikan di berbagai penjuru kota.

”Situasi pagi ini berangsur normal. Tidak ada kasus perusakan atau kekerasan apa pun pagi ini,” kata Brigadir Emeka Onwamaegbu, juru bicara Militer Nigeria.

Otoritas memberlakukan jam malam selama 24 jam di tempat-tempat yang paling rawan. Tentara telah diberi perintah tembak di tempat bagi perusuh.

Bentrokan pecah, Jumat pekan lalu, dipicu oleh perselisihan soal hasil pemilu lokal pertama dalam satu dekade terakhir. Mereka adalah pendukung dua partai utama. ”Ada kelompok Hausa (Muslim) dan Berom (Kristen) yang berkelahi satu sama lain,” kata seorang warga.

Partai berkuasa yang didukung kelompok Kristen, Partai Rakyat Demokratik, menyatakan diri memenangi pemilu negara bagian. Klaim itu ditentang oleh partai oposisi yang didukung warga Muslim, Partai Rakyat Seluruh Nigeria.

Kelompok yang bertikai saling membakar rumah, toko, masjid, dan gereja. ”Saya menghitung ada 218 mayat di Masalaci Jummaa. Masih banyak mayat yang tergeletak di jalanan,” kata seorang petugas Palang Merah Nigeria.

Terburuk

Jumlah korban tewas itu belum termasuk korban di rumah sakit, yang sudah dimakamkan, atau yang dibawa ke tempat lain. Juru bicara Kepolisian Jos Bala Kassim mengatakan, banyak sekali korban tewas, tetapi tidak memberikan angka pasti. ”Mereka masih mengumpulkan jenazah di luar. Beberapa wilayah belum bisa dijangkau sampai sekarang,” kata Al Mansur, seorang petani di Jos.

Juru bicara Gubernur Plateau, Jonah Jang, mengatakan, ratusan pemuda yang membawa senjata telah ditahan di sebuah markas militer. Seorang polisi senior mengatakan, 523 orang telah ditangkap. Sekitar 7.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di kantor pemerintah, barak tentara, dan tempat ibadah.

Bentrokan sektarian antara kelompok Hausa dan Berom kali ini merupakan yang terburuk dalam empat tahun. Tahun 2004, bentrokan di Yelwa, Plateau, menewaskan 700 orang. Bentrokan itu memicu Presiden (waktu itu) Olusegun Obasanjo memberlakukan status keadaan darurat.

Sebelumnya, tahun 2001, bentrokan serupa menyebabkan 1.000 orang tewas. Lebih dari 10.000 warga Nigeria tewas dalam kekerasan sektarian sejak pemimpin sipil mengambil alih pemerintahan dari tangan militer tahun 1999.

Akarnya perebutan kekayaan

Pada umumnya, warga Muslim dan Kristen hidup berdampingan dengan damai di Nigeria. Jumlah warga Muslim dan Kristen di negara berpenduduk 140 juta jiwa itu bisa dibilang sama.

Namun, ketegangan etnis dan religius di kawasan ”sabuk tengah” negara itu telah berlangsung selama bertahun-tahun.

Akarnya adalah kebencian kelompok penduduk asli minoritas, kebanyakan beragama Kristen atau penganut animisme, yang tinggal di selatan terhadap pendatang dan penduduk Muslim penutur bahasa Hausa yang tinggal di wilayah utara.

Kekerasan komunal di Nigeria terhitung kompleks. Sering kali penyebabnya adalah perebutan sumber daya alam, seperti tanah.

Di masa lalu, kekerasan sektarian semacam itu sering memicu aksi pembalasan kelompok suku atau agama di wilayah lain di Nigeria sehingga konflik meluas. Kali ini, aparat keamanan bereaksi lebih cepat untuk membendung kekerasan di Jos agar tidak meluber ke wilayah tetangganya. (ap/reuters/bbc/fro)

[ Kembali ]

Merawat Bayangan Kekitaan

ANALISIS POLITIK
Diunduh dari Harian KOMPAS,Selasa, 2 Desember 2008
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/02/00164648/merawat.bayangan.kekitaan

Oleh Yudi Latif

Apa yang mempertautkan bayangan keindonesiaan hari ini? Suatu bangsa, menurut Ben Anderson, adalah suatu ”komunitas politik terbayangkan”. Setiap bayangan selalu punya ufuk horizon, berupa batas imajiner yang memisahkan ”kekitaan” dan ”kelianan (others)”.

Dalam pergerakan kemerdekaan, tapal batas kekitaan itu diperluas horizonnya dengan mempertautkan berbagai kelianan dalam fantasi keindonesiaan.

Namun, dalam perkembangan keindonesiaan, tapal batas kekitaan itu terus menciut, dipecah belah berbagai fantasi kelianan.

Persekolahan berlomba memecah kekitaan atas dasar perbedaan kelas dan status sosial. Sekolah publik yang semestinya menjadi kuali pelebur ragam identitas justru jadi pengukuh perbedaan sosial saat diskriminasi dan favoritisme atas dasar daya beli mendapat tempat.

Politik yang mestinya menjadi katalis bagi integrasi sosial, dengan mentransendensikan warga dari irasionalitas komunalisme ke rasionalitas publik, malah menjadi sumber disintegrasi dan irasionalitas.

Partai politik tumbuh bak cendawan di musim hujan, meretakkan bayangan kebangsaan oleh pertentangan kepentingan pragmatis-elitis.

Otonomi daerah tanpa fantasi persatuan memenggal integrasi teritorial, bahkan mengapling lautan, menurut batas otoritas kabupaten; juga memutus integrasi sosial-nasional.

Sementara pemilihan kepala daerah langsung, tanpa mempertimbangkan karakter dan kapasitas lokal, menguatkan kembali tribalisme yang dapat melemahkan solidaritas sosial dan sendi-sendi nasionalisme.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kian tertekan oleh kedangkalan pemujaan terhadap hal-hal berbau asing, yang ditimbulkan oleh mentalitas rendah diri. Ruang publik kita dikepung oleh logo dan sebutan asing, yang kerap digunakan semena-mena.

Karena bahasa menunjukkan bangsa, pengepungan ruang publik oleh keasingan mengisyaratkan goyahnya sendi-sendi kebangsaan.

Logika konsumen

Pelipatgandaan dan komersialisasi media mendorong ke arah fragmentasi publik. Dalam menjamurnya outlet media, pemirsa dipotong dan diiris ke dalam segmen spesifik, yang membatasi terpaannya pada isu dan informasi bersama.

Suatu homogenitas ruang publik kecil muncul berdampingan—jika tidak mengganti—heterogenitas ruang publik besar, yang kemudian memecah jagat politik.

Bersamaan dengan itu, ketimpangan terjadi antara masalah kebebasan memilih informasi atau program dan perlunya memberikan pendidikan kepada warga. Dalam ketundukannya pada logika komersialisasi, media lebih memenuhi keinginan ketimbang kebutuhan pemirsa.

Implikasi lebih serius, rakyat lebih diperlakukan sebagai segmen konsumen ketimbang publik kewargaan yang terikat pada kemaslahatan kolektif.

Dalam logika konsumen ini, otonomisasi, keterlibatan dan kritisisme massa dalam politik melemah. Preferensi atas partai dan pemimpin politik lebih menekankan kekuatan daya tarik personal ketimbang kekuatan visi dan program.

Demokratisasi

Dalam situasi demikian, dari manakah kita temukan sumber kekuatan yang dapat merawat semangat kekitaan?

Di depan para perwira Kodam Tanjung Pura, 24 November 2008, saya mengimbau tentara menjadi penyehat demokratisasi dengan menjaga simpul kekitaan secara vertikal.

Garis politik tentara adalah penjaga jati diri bangsa untuk memastikan agar dinamika kehidupan bangsa tetap dalam batas garis kontur konsensus nasional.

Etos keprajuritan harus memancarkan keyakinan bahwa jalan kemajuan suatu bangsa adalah trayek jati dirinya.

Seperti kemajuan India lewat karakter swadesinya, China dengan kolektivismenya, dan Amerika Serikat dengan individualismenya, trayek kemajuan Indonesia adalah karakter gotong royongnya.

Di depan forum Dewan Perwakilan Daerah, 26 November lalu, saya mengimbau para ”senator” untuk menjaga simpul kekitaan secara horizontal.

Seperti halnya Sumpah Pemuda, sebagai fusi antarhorizon dari pelbagai gerakan pemuda kedaerahan, tanggung jawab DPD adalah mengembangkan kesetiakawanan horizontal yang menyatukan kembali kepingan- kepingan etno-kultural ke dalam bingkai nasionalisme civic.

Dan akhirnya, di depan para seniman Bandung, 28 Oktober, saya harus memberikan apresiasi.

Tampilnya grup-grup musik dan sineas muda, yang dengan kekuatan kreatifnya menjadi tuan di negerinya sendiri, memberikan ikon dan ekspresi bersama yang mampu mempertautkan anak-anak bangsa dari berbagai pelosok Tanah Air ke dalam bayangan keindonesiaan.

Lantas, siapa lagi?

Yudi Latif Direktur Eksekutif Reform Institute

[ Kembali ]